reflection

Cemas dan Kendali Diri

Pagi ini saya dibangkitkan dengan rasa cemas dan kekhawatiran. Sebuah resiko dan pain yang saya harus hadapi. Pain yang memang perlu dihadapi menjadi seorang mahasiswa doktoral yang belum kunjung tuntas. Apa yang harus saya hadapi? Apa yang kemudian harus saya lakukan? Apa yang perlu disiapkan untuk semakin menambah semangat dalam mengerjakan dan tuntaskan kerja disertasi saya.

Saya putuskan kemudian untuk melihat kembali koleksi buku saya. Beberapa buku yang saya anggap sebagai ‘teman’ untuk mendampingi beraktivitas dalam rangkaian kehidupan saya.

Kemudian saya mencoba untuk melihat kembali tumpukan buku yang dimiliki. Buku apa yang saya perlukan hari ini untuk dijadikan booster? Saya mencoba menata buku, kemudian memilah beberapa buku yang sepertinya akan saya butuhkan dalam beberapa hari ke depan. Buku yang setidaknya akan selalu mengingatkan kepada saya untuk bisa siap menantang dan menghadapi segala hal yang diasumsikan oleh diri saya menjadi sebuah kendala. Literatur juga telah menunjukkan bahwa buku merupakan salah satu kebutuhan untuk menyembuhkan dan membantu personal yang sedang mengalami gangguan terhadap mental (Sevinç, 2019).

Beberapa buku yang saya maksud adalah Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson, kemudian buku Be Obsessed karya Grant Cardone. Saya coba melihat kembali judul lainnya, Deep Work dari Cal Newport, saya tambah lagi di atas  tumpukan buku saya ini dengan karya James Clear yaitu Atomic Habits. Tidak berhenti dengan tumpukan buku tersebut, saya juga selipkan karya fenomenal dari Profesor Angela Duckworth yaitu Grit. Mungkin di lain tulisan saya akan coba jabarkan alasan apa saja judul-judul tersebut saya jadikan pendamping dalam aktivitas saya. Khususnya ketika ingin mendapatkan booster harian dalam bekerja dan belajar.

Setelah saya coba rapikan buku-buku tersebut, kemudian saya kembali membuka buku koleksi lainnya. Saya merasa buku-buku yang telah saya pilah dan siap untuk dijadikan pendamping beraktivitas. Saya kemudian merasa perlu sebuah buku lagi. Saya sedang mempelajari tentang Emotional Intelligence. Sebuah buku lama, yang memang cukup lama saya abaikan. Buku ini hasil karya dari Daniel Goleman, seorang penulis yang cerdas dalam merangkai kata untuk artikel ataupun tulisan berkaitan dengan kecerdasan dan kemampuan otak. Sebelumnya, saya mengenal Daniel Goleman dengan bukunya berjudul Focus. Namun, saya sempat abaikan, karena membaca dan memahami buku Focus yang tujuan awalnya berharap untuk mendapatkan tips praktis agar lebih fokus dalam menata manajemen diri dan mengendalikan emosi diri sendiri, ternyata saya anggap gagal. Perlu fokus yang intens untuk membaca buku Focus.

Saya melihat buku Emotional Intelligence, dan memang sangat terlambat membacanya. Buku yang sudah lama beredar sebenarnya. Namun, saya kemudian ‘dikenalkan’ oleh Pak DokDes, dokter Ryu Hasan. Seorang dokter yang unik, dokter yang mendalami neuroscience (ala-ala Derek Sheperd Grey’s Anatomy), yang juga menjadi langganan dari penerbit KPG ketika memperkenal buku sains. Saya pikir ketertarikan saya atas sains dan segala keunikannya, dimulai dari antusias saya membaca pola pikir dan gaya hidup dokter Ryu Hasan.

Dalam sebuah video wawancara dengan dokter Ryu, saya kemudian memperhatikan ada sebuah kata kunci yang sering beliau sebut. Dalam setiap video pemaparan oleh dokter Ryu, secara tersirat ataupun langsung beliau menyebutkan sebuah buku yang dianggap mengubah cara berpikir dan keyakinan dirinya untuk mendalami kecerdasan otak. Buku itu adalah Emotional Intelligence karya Daniel Goleman. Saya kemudian penasaran dengan buku tersebut. Pendek kata, saya akhirnya mencari buku tersebut melalui e-commerce. Sempat berusaha membaca versi e-book, namun, rasa penasaran semakin tinggi sehingga memutuskan untuk membeli buku Emotional Intelligence yang sudah agak sulit mendapatkannya. Ditambah dengan judul buku Goleman yang lain, yaitu Social Intelligence.

Koleksi buku yang saya sebutkan sebelum Emotional Intelligence memang menjadi rekomendasi untuk booster saya dalam kuasai kendali diri dan mood. Namun, kali ini, saya akan coba tuntaskan kekhawatiran dan kecemasan saya dengan membaca beberapa bagian dari buku Emotional Intelligence. Saya coba amati beberapa topik, kemudian langsung menuju bagian tengah buku, ketika Goleman menyampaikan argumen dan hasil data terkait bagaimana menghadapi kecemasan. Sebuah perasaan yang memang sulit dihindari. Bahkan, kendali diri dan rasionalitas manusia menjadi berantakan ketika diri dikuasai oleh perasaan cemas. Tapi, esensi manusia memang ‘dipaksa untuk cemas’. Layaknya sebuah rasa senang dan sedih yang perlu dianggap ‘flat’ dan dianggap kewajaran yang merata. Begitu juga dengan rasa cemas. Cemas diperlukan untuk ketahanan diri manusia. Bahkan disebutkan cemas akan membantu manusia untuk mampu memperbaiki strategi dalam hadapi masalah. Namun, memang tidak bisa dihindari, kecemasan berlebih akan mengakibatkan beberapa dampak yang tidak menyenangkan. Phobia, depresi, kekhawatiran berlebih akan suatu kejadian yang belum tentu terjadi menjadi bayangan utama untuk manusia yang tidak dapat mengendalikan rasa cemas.

Daniel Goleman merekomendasikan dua aktivitas utama untuk mengendalikan rasa cemas, menguasai diri dan kemudian ‘sehat’ kembali (Goleman, 2012). Pertama, sadar diri. Kesadaran diperlukan untuk memahami bahwa diri manusia memang sedang merasa cemas. Memang benar ungkapan “it’s okay not to be okay”. Tidak perlu merasa takut bersalah jika memang sedang merasa cemas. Jadilah diri sendiri dan merasa sadar. Sadar bahwa diri sendiri sedang menghadapi kecemasan, adalah hal yang utama dilakukan. Dengan merasa sadar, manusia kemudian bisa memanfaatkan daya pikir untuk melakukan kegiatan relaksasi. Setiap manusia memiliki cara berbeda-beda dengan relaksasi. Itupun yang saya lakukan saat ini, relaksasi saya lakukan dengan membaca kembali buku-buku yang menjadi koleksi saya. Saya merasa ada ‘teman’ lagi. Buku-buku merupakan bagian dari relaksasi saya. Kemudian, apa lagi contoh relaksasi yang saya lakukan? Memaksa diri untuk bergerak. Ya, saya memilih untuk bersemangat jalan pagi, jogging setelah subuh. Saya berharap aktivitas setelah subuh tersebut akan membantu saya tuntaskan kecemasan.
Kedua, rekomendasi aktivitas Goleman adalah skeptisisme. Diri manusia secara mandiri perlu melakukan evaluasi diri dengan mempertanyakan kepada diri sendiri. Sebenarnya ada apa dengan diri saya? itu adalah pertanyaan yang terlalu general atau umum. Ajukan pertanyaan yang lebih spesifik atas kecemasan yang dihadapi. Misalnya jika dikaitkan dengan kecemasan saya hari ini atau pagi ini yaitu: benarkah apa yang saya kerjakan dalam proyek penulisan disertasi sudah benar? seberapa ‘parah’-kah hasil pemikiran saya, apakah benar-benar berantakan? apakah saya akan benar-benar tidak memiliki solusi lain? pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membantu proses penalaran yang dilakukan sebelumnya untuk melakukan tindakan lanjutan. Goleman membantu cara berpikir saya dalam mengolah rasa cemas dan khawatir. Jika sudah demikian, tidak perlu lama lagi untuk merasa panik. Lakukan dan hadapi apa yang dianggap menjadi kendala. Lakukan dulu saja. Abaikan dulu hasil. Melangkah dulu untuk tuntaskan tugas yang sudah berada di depan mata.

Referensi
Goleman, D. (2012). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. books.google.com. http://dspace.vnbrims.org:13000/xmlui/bitstream/handle/123456789/4687/Emotional Intelligence.pdf?sequence=1
Sevinç, G. (2019). Healing mental health through reading: Bibliotherapy. Psikiyatride Güncel Yaklaşımlar, 11(4), 483-495. https://www.ceeol.com/search/article-detail?id=841785