Refleksi dan Penguatan Peran Dosen dalam Implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
Tulisan ini saya susun berdasarkan pengalaman pribadi ketika mulai merasa gelisah terkait kemajuan program studi, pengembangan ilmu, dan luaran mahasiswa. Suatu ketika, saya pernah mengakui bahwa saya melakukan kesalahan dalam proses rekrutmen dosen. Tidak dapat dipungkiri, ini adalah bagian dari perjalanan karier saya. Saya tidak terlalu khawatir, karena kesalahan dan kelupaan adalah bagian dari proses yang membentuk diri kita. Saya pernah lupa menyampaikan kepada dosen yang direkrut mengenai kewajiban melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Pada awalnya, saya hanya mempertimbangkan kesediaan mereka untuk mengajar. Padahal, tanggung jawab kita sebagai dosen tidak hanya sebatas mengajar. Ada tanggung jawab moral yang melibatkan dua dharma lainnya yang merupakan integrasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Saya menganggap kesalahan tersebut sebagai bagian dari perjalanan karier saya, baik sebagai dosen maupun pengelola program studi. Jika ditanya apakah ini terlambat, ya, saya akui terlambat. Namun, keterlambatan ini justru menjadi pemicu dan motivasi besar untuk mengembalikan marwah dan tujuan pendidikan tinggi. Terlepas dari perubahan kebijakan atau peraturan yang diterapkan oleh kementerian, esensi sebagai dosen tidaklah berubah. Saya melihat dosen sebagai pendamping mahasiswa agar mereka lebih tangguh dalam menghadapi kehidupan yang nyata dan dewasa. Dalam hal ini, peran dosen sangat penting dalam proses pengembangan keilmuan mahasiswa yang terintegrasi antara satu dharma dengan dua dharma lainnya.
Pendidikan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyebaran pengetahuan, tetapi juga menuntut dosen untuk berkontribusi dalam penciptaan dan penerapan pengetahuan. Oleh karena itu, selain mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat menjadi aspek penting yang harus dijalankan oleh dosen. Penelitian diperlukan agar dosen tetap berada di garis depan dalam bidangnya. Kuhn (1962) dalam The Structure of Scientific Revolutions mengungkapkan bahwa pengetahuan tidak bersifat statis, melainkan mengalami perubahan atau “pergeseran paradigma” secara berkala. Melalui penelitian, dosen dapat membawa wawasan baru yang relevan ke dalam kelas dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada mahasiswa.
Pengabdian kepada masyarakat memberikan kesempatan bagi dosen untuk menerapkan keahlian dan hasil penelitiannya dalam mengatasi tantangan nyata di masyarakat. Keterlibatan aktif ini menunjukkan relevansi praktis dari pekerjaan mereka dan menginspirasi mahasiswa untuk melihat potensi transformatif dari pengetahuan. Dengan demikian, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, bersama dengan pengajaran, membentuk fondasi kokoh bagi pendidikan tinggi yang berkualitas. Hal ini memastikan dosen tetap dinamis, relevan, dan berdampak positif bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, sering kali kita mendengar pentingnya memiliki road map penelitian bagi dosen serta persiapan rutin untuk melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. Road map penelitian bukan sekadar panduan, melainkan strategi jangka panjang yang memungkinkan dosen tetap relevan dan berkontribusi secara berkelanjutan dalam bidang keilmuannya. Road map ini juga berperan penting dalam mengintegrasikan hasil penelitian dengan proses pengajaran termasuk rencana pengabdian kepada masyarakat, sehingga apa yang diajarkan di kelas selalu terkini dan didukung oleh temuan-temuan terbaru. Dengan demikian, road map penelitian tidak hanya menjadi bagian dari tanggung jawab akademik, tetapi juga merupakan elemen kunci dalam proses pengajaran yang dinamis dan berbasis bukti.
Terkadang, kita hanya memahami kedua dharma tersebut secara harfiah, baik penelitian atau pengabdian kepada masyarakat. Misalnya, pengabdian kepada masyarakat sering dimaknai hanya sebagai “berbuat baik” kepada kelompok masyarakat tanpa mengaitkannya dengan bidang keahlian yang telah digeluti dalam road map penelitian. Padahal, mengajar di pendidikan tinggi bukan sekadar berbagi ilmu atau transfer knowledge berdasarkan buku teks. Dosen diharapkan mampu mengembangkan diri sehingga mahasiswa menjadi lebih mandiri, tangguh, berpikir kritis, mendalam, dan memiliki spesialisasi. Fokus pada kedalaman dan spesialisasi ini menjadi ideal sesuai tujuan pendidikan tinggi, terutama ketika kita diingatkan oleh kementerian untuk memastikan kepakaran atau bidang kajian yang menjadi perhatian utama.
Diskusi tentang linieritas keilmuan menjadi relevan ketika dikaitkan dengan pendidikan tinggi. Namun, yang lebih penting adalah positioning kita sebagai dosen, khususnya dalam hal positioning keilmuan. Apakah bisa diukur dari “lulusan mana kita” atau “jurusan apa kita”? Pada awalnya, saya juga berasumsi demikian, tetapi kemudian saya menyadari bahwa esensi pendidikan tinggi menuntut dosen sebagai cendekiawan pembelajar sejati. Kita diingatkan melalui leveling keilmuan di S1, S2, dan S3. S1 identik dengan intradisiplin, yaitu fokus pada memberikan landasan pengetahuan yang luas dalam satu disiplin ilmu. S2 relevan dengan multidisiplin karena mahasiswa mulai mengeksplorasi hubungan antara spesialisasi mereka dengan bidang lain. S3 adalah interdisiplin karena penelitian doktoral sering kali membutuhkan pendekatan interdisiplin untuk mengatasi masalah-masalah kompleks dan menghasilkan inovasi baru (Carr et al., 2018; Irianto, 2012).
Saat ini, kita memahami bahwa syarat minimal untuk menjadi dosen adalah S2, dan bahkan sudah mulai diarahkan untuk S3. Mengapa demikian? Jawaban singkatnya adalah karena kedalaman pengetahuan, keilmuan, dan kemampuan membimbing menjadi berbeda. Pada bagian ini, S2 dan S3 menjadi penting untuk level dosen. Pada posisi ini, kita perlu memikirkan kepakaran kita. Bukan hanya sekadar lulus dari jurusan apa, tetapi lebih mendalam: pahami lebih dalam Body of Knowledge dari ilmu yang menjadi perhatian kita (Lievrouw, 1992; Pauwels, 2006). Kemudian, perdalam lagi pada bagian keilmuan yang menjadi kajian kita.
Gambar Pohon Communication Studies
(diolah penulis)
Fakultas Komunikasi dan Desain Kreatif di Universitas Budi Luhur telah memiliki kombinasi dosen praktisi dan dosen yang murni akademisi. Kolaborasi kreatif ini tidak boleh hanya diakui secara formal, tetapi harus dikembangkan dan dieksplorasi lebih mendalam. Dosen praktisi yang memiliki pengalaman lebih dari lima atau sepuluh tahun di industri sangat berharga sebagai sarana transfer knowledge kepada mahasiswa. Bahkan, pengalaman di industri tersebut dapat dikembangkan lebih jauh menjadi kepakaran yang unik.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan praktisi yang memiliki minat dan niat untuk fokus pada karier sebagai dosen. Dua dharma, yaitu pengajaran dan pengabdian, harus tetap berkelanjutan. Namun, kekhawatiran untuk dari mana akan memulai proyek penelitian atau bahkan sulit menulis tidak perlu ada. Mengapa demikian? Pengalaman dosen praktisi justru menjadi keuntungan karena topik penelitian sudah tersedia di hadapan mereka: pengalaman profesional yang selama ini menjadi fokus dapat dikembangkan menjadi area kepakaran. Sebagai solusi untuk memulai menulis dan meneliti, dosen praktisi dapat memulai dengan menelaah dan mendokumentasikan pengalaman industri mereka secara sistematis, yang kemudian dapat diolah menjadi bahan penelitian akademik yang bernilai tinggi.
Bagaimana dengan dosen yang murni berkarier sebagai akademisi sejak lulus S2? Perbedaannya hanya sedikit. Saya melihat esensi penelitian sangat membantu dosen memilih kepakaran. Saya diingatkan oleh pesan seorang senior ketika studi lanjut, bahwa ujian promosi doktor bukanlah langkah akhir akademisi. Justru, itulah langkah awal sebagai akademisi. Menyelesaikan studi lanjut berarti “sabuk” kita sudah memiliki warna yang berbeda (dianalogikan dengan Tae Kwon Do atau Karate). Setelah mendapatkan sabuk tersebut, seorang dosen harus terus mengingat untuk menjadi pembelajar sejati, tidak berhenti merasa paling benar atau paling tahu. Fokuslah pada diri sendiri.
Layaknya ketika kita mengisi Beban Kerja Dosen atau BKD, sebuah laporan rutin kinerja dosen yang sangat personal dan mandiri. Melaporkan apa adanya, apa yang sudah menjadi kewajiban kita. BKD pada dasarnya terlihat sebagai beban administrasi dosen (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, 2023). Namun, mindset kita perlu diubah. Alih-alih fokus pada “menyalahkan” regulasi yang seakan terus membebani dosen, lebih baik energi dialihkan menjadi “apa yang sudah saya lakukan selama ini sebagai dosen.” Ubah mindset BKD menjadi daily journal atau catatan harian kita selama satu semester sebagai dosen. Apakah berat? Ya, jelas berat jika fokus kita hanya merekap beban mengajar. Namun, asumsi hal ini akan berbeda ketika fokus kita juga diarahkan pada dua dharma lainnya, yaitu penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Road map penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, menjadi penting bagi peta jalan karier dosen (Mertz et al., 2014; Nursalim et al., 2021). Kita perlu memiliki road map atau peta khusus untuk menentukan arah penelitian, merancang pengabdian kepada masyarakat, memikirkan pengembangan karier, dan bahkan lebih jauh lagi, target inovasi apa yang akan kita temukan sebagai legacy kita sebagai dosen dan peneliti. Tidak dapat dipungkiri, saya pun mengalami bahwa terkadang dosen memiliki tema luaran penelitian yang beraneka ragam setiap semester atau tahun, semata-mata karena anggapan awal bahwa “jurusan” atau “program studi” adalah acuan utama kepakaran. Bukan lebih memilih untuk mendalami jurusan, bidang ilmu, atau bahan kajian apa yang akan menjadi kepakaran dosen. Road map penelitian merupakan alat bantu bagi dosen agar lebih fokus, efisien, dan semakin produktif, termasuk dalam membangun jejaring (Alturki et al., 2011; Maxwell, 2016; Montgomery, 2017). Jejaring tidak hanya dengan sesama dosen atau mahasiswa, tetapi lebih jauh lagi, menjangkau peneliti dari perguruan tinggi lain yang memiliki fokus bidang penelitian atau pengajaran yang sama dengan kita.
Gambar Jejaring peneliti melalui artikel penelitian
(diolah penulis dengan Research Rabbit)
Hal ini juga berkaitan dengan pilihan aktivitas dalam dharma berikutnya yaitu pengabdian kepada masyarakat. Dharma ini memberikan peluang bagi dosen untuk berbagi pengetahuan dan berkontribusi dalam mengimplementasikan hasil penelitian kepada masyarakat. Tidak hanya mengabdi dalam bentuk “aksi sosial,” tetapi esensinya adalah menguji hasil penelitian yang telah dihasilkan. Kontribusi pengetahuan apa yang perlu dikembangkan dan hasil karya cipta apa yang dapat kita akui dan, jika memenuhi syarat, dipatenkan. Selama ini, kita mungkin menganggap karya cipta sebagai hal yang tidak perlu “diakui” secara administratif. Namun, Intellectual Property adalah bentuk kemewahan dan langkah elegan dari seorang peneliti. Ketika menghasilkan sesuatu dari perjalanan penelitian, menemukan model atau kontribusi baru kepada pengetahuan atau masyarakat, itulah karya cipta akademik yang sesungguhnya. Pada bagian inilah HKI menjadi penting.
Sebagai kesimpulan, kita perlu bersama-sama melakukan “evaluasi diri.” Termasuk saya, perjalanan akademik saya, dan karier akademik saya masih terus berlanjut seiring dengan rasa haus untuk terus belajar dan mengembangkan diri, baik secara keilmuan maupun praktis. Dosen perlu segera merenung dan melakukan evaluasi mandiri mengenai apa saja yang telah dikontribusikan selama ini.
Catatan:
artikel ini disampaikan pada kegiatan “Diskusi Kolaborasi Kreatif Tri Dharma Perguruan Tinggi” di Fakultas Komunikasi dan Desain Kreatif, Universitas Budi Luhur pada tanggal 29 Agustus 2024.
Referensi
Alturki, A., Gable, G. G., & Bandara, W. (2011). A design science research roadmap. Service-Oriented Perspectives in Design Science Research: 6th International Conference, DESRIST 2011, Milwaukee, WI, USA, May 5-6, 2011. Proceedings 6, 107–123.
Carr, G., Loucks, D. P., & Blöschl, G. (2018). Gaining insight into interdisciplinary research and education programmes: A framework for evaluation. Research Policy, 47(1), 35–48
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, K. R. dan T. (2023). Kurangi Beban Administrasi Dosen, Ditjen Diktiristek Rilis SISTER Berbasis Cloud. Dikti.Kemdikbud.Go.Id/Kabar-Dikti/Kabar/Kurangi-Beban-Administrasi-Dosen-Ditjen-Diktiristek-Rilis-Sister-Berbasis-Cloud/.
Irianto, S. (2012). Otonomi perguruan tinggi: suatu keniscayaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.
Lievrouw, L. A. (1992). Communication, representation, and scientific knowledge: a conceptual framework and case study. Knowledge and Policy, 5(1), 6–28.
Maxwell, D. (2016). The research lifecycle as a strategic roadmap. Journal of Library Administration, 56(2), 111–123.
Mertz, M., Inthorn, J., Renz, G., Rothenberger, L. G., Salloch, S., Schildmann, J., Wöhlke, S., & Schicktanz, S. (2014). Research across the disciplines: a road map for quality criteria in empirical ethics research. BMC Medical Ethics, 15, 1–14.
Montgomery, B. L. (2017). Mapping a mentoring roadmap and developing a supportive network for strategic career advancement. Sage Open, 7(2), 2158244017710288.
Nursalim, M., Ardianingsih, F., & Maureen, I. Y. (2021). Designing Educational Research Roadmap. International Joint Conference on Arts and Humanities 2021 (IJCAH 2021), 1093–1098.
Pauwels, L. (2006). Visual cultures of science: rethinking representational practices in knowledge building and science communication. UPNE.